Mengenal Penyakit Lumpy Skin Disease LSD
Oleh : drh. Ristaqul Husna Belgania, M.Si
Widyaiswara Ahli Pertama BBPKH Cinagara
Epidemiologi Lumpy skin disease
Lumpy skin disease (LSD) adalah penyakit eksotik kulit yang akut hingga kronis, sangat menular pada sapi (Bos spp.) dan kerbau (Bubalus spp.). Semua umur dan ras sapi, serta kedua jenis kelamin, rentan terhadap penyakit ini (Tuppurainen et al., 2011). Sapi bangsa Bos taurus seperti Jersey, Guernsey, Friesian dan Ayrshire sangat rentan terhadap penyakit LSD (Animal Health Australia, 2022). Penyakit LSD juga pernah dilaporkan terjadi pada hewan liar seperti jerapah, banteng, dan impala di Afrika (OIE, 2017).
Lumpy skin disease (LSD) merupakan salah satu penyakit lintas batas (transboundary disease) yang penting dikarenakan penyebarannya yang terus terjadi di dunia. Sebelum 2012, distribusi LSD terbatas di Afrika dan Israel. Sejak tahun 2012 LSD telah menyebar ke banyak bagian di Timur Tengah, Turki, Eropa Timur, Balkan, dan Rusia. Penyakit LSD ini menjadi wabah di Asia tahun 2019 di Bangladesh, India, dan China serta menyebar ke negara Asia lainnya yaitu Nepal, Bhutan, Vietnam, Myanmar, Hongkong, Sri Lanka (Whittle et al., 2023). Pada tahun 2021, LSD menyebar lebih jauh ke Kamboja, Malaysia, dan Thailand. Penyakit LSD yang merupakan penyakit eksotik ini masuk ke Indonesia pertama kali di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau pada Februari 2022 (Ditjennak, 2022). Sejak awal tahun 2023, penyakit LSD sudah mencapai wilayah Jawa Barat termasuk Kabupaten Bogor. Menurut data ISIKHNAS Bulan Mei 2023, 99,9% hewan yang terpapar LSD di Indonesia adalah sapi dan 0,1% adalah kerbau. Kecepatan penyebaran penyakit ini yang melintasi berbagai negara bahkan batas alami geografi dalam waktu yang relatif singkat membuktikan bagaimana penyakit ini sulit untuk dibendung.
Gambar 1 Penyebaran Penyakit LSD di Seluruh Dunia (Whittle et al., 2023)
LSD tidak menular ke manusia sehingga bukan termasuk penyakit zoonosis. Masa inkubasi LSD adalah 6 – 26 hari (Sohier et al 2019, EFSA 2020) namun WOAH menetapkan masa inkubasi selama 28 hari (OIE 2017).
Etiologi / Penyebab
Penyakit LSD disebabkan oleh virus dari virus famili poxviridae, subfamili Chordopoxviridae, genus Capripoxvirus. Genus Capripoxvirus terdiri dari tiga virus; Sheep Pox Virus (SPPV), Goat Pox Virus (GTPV), dan Lumpy Skin Disease Virus (LSDV). Virus LSD (LSDV) berukuran besar (230-260 nm) terbungkus dalam lipid yang diselimuti dengan genom sekitar 150 kbp) dan berbagi 97% identitas dalam urutan nukleotida dengan genom SPPV dan GTPV yang menjadi penyebab cacar kambing dan cacar domba (Ratyotha et al., 2022).
Gambar 2 Struktur Virus LSD (Ratyotha et al., 2022)
Sifat umum dari virus LSD stabil antara pH 6,6 dan 8,6 (Coetzer & Tuppurainen 2004; Animal Health Australia, 2022). Virus LSD dapat dinonaktifkan dalam 10 menit pada suhu 60 °C, tetapi virus kering (orthopoxvirus pada umumnya) dapat bertahan pada suhu 100°C selama 10 menit Virus LSD bertahan untuk waktu yang lama dalam bahan dingin (4°C) dan beku (-80 °C). Virus stabil dan dapat bertahan dengan baik sampai 6 bulan di keropeng sapi yang ada di kandang terlindung matahari dan tidak dibersihkan (OIE 2017).
Virus LSD rentan terhadap panas, dengan inaktivasi pada 55 °C dalam 2 jam dan 65°C dalam 30 menit. Virus LSD rentan terhadap sinar matahari dan deterjen yang mengandung pelarut lipid seperti disinfektan, eter, kloroform, formalin, fenol, natrium hipoklorit, senyawa yodium, dan senyawa amonia (OIE 2017).
Cara Penularan
Penularan virus LSD belum sepenuhnya dipahami namun, penularan melalui kontak langsung antara hewan yang terinfeksi diyakini tidak efisien dan hanya berperan kecil dalam epidemiologi penyakit. Sumber penularan LSD berasal dari nodul kulit, keropeng dan kerak mengandung virus LSD (LSDV) dalam jumlah relatif tinggi. Virus dapat diisolasi dari material tersebut hingga 35 hari atau lebih. Virus LSD juga dapat diisolasi dari air liur, cairan mata dan lendir hidung. Virus LSD ditemukan pada darah (viraemia) sewaktu-waktu sekitar 7 – 21 hari pasca infeksi pada tingkat yang rendah daripada yang ada pada nodul kulit (OIE 2017).
Penyebaran virus LSD sangat ditunjang oleh vektor serangga pemakan darah. Adapun beberapa serangga yang bisa menjadi vector penyebaran LSD meliputi Nyamuk (Aedes aegypti, Anopheles stephensi, Culex quinquefasciatus ), Lalat (Stomoxys calcitrans, Haematobia irritans, Prostomoxys sp., Haematopota spp., Biomyia fasciata), Serangga kecil (Culicoides nubeculosus), dan Caplak (Rhipicephalus appendiculatus, Rhipicephalus decoloratus, Amblyomma hebraeum). Vektor mekanik seperti jarum suntik dan transportasi juga berpotensi sebagai media penularan penyakit LSD (Ditjennak, 2022).
Gambar 3 Vektor Penyebaran LSD (Ditjennak, 2022)
Faktor resiko yang terkait dengan penyebaran LSD meliputi iklim yang hangat dan lembab, kondisi yang mendukung peningkatan populasi vektor, seperti yang terlihat setelah musim hujan, dan masuknya hewan baru (Namazi dan Tafti, 2021).Ukuran kawanan, populasi vektor, migrasi, pengangkutan hewan yang terinfeksi ke daerah bebas penyakit, padang rumput umum dan sumber air semuanya telah dianggap sebagai faktor risiko lain, yang dapat meningkatkan prevalensi penyakit (Sevik dan Dogan, 2017). Arah dan kekuatan angin kemungkinan berkontribusi terhadap penyebaran virus (Rouby dan Aboulsoud, 2016).
2.4 Gejala klinis
Gejala klinis penyakit Lumpy Skin Disease yang dapat diamati adalah:
Gambar 4 Gejala Klinis LSD (Ratyotha et al., 2022)
· Demam sampai dengan 41o C
· Penurunan produksi susu pada sapi yang sedang laktasi, depresi, anoreksi dan emasiasi
· Rhinitis, konjuntivitis, dan salivasi yang berlebihan
· Pembesaran limfoglandula superfisial
· Nodul-nodul dengan diameter 2-5 cm pada kulit, terutama pada kepala, leher, kaki, perut, ambing, alat genitalia, dan perineum dalam waktu 48 jam setelah tanda demam. Nodul-nodul ini keras, bulat dan meninggi, pada kulit, jaringan subkutan, bahkan otot.
· Nodul yang besar dapat nekrotik dan akhirnya fibrotic dan bertahan sampai dengan beberapa bulan; bekas luka dapat bertahan sampai sangat lama. Nodul-nodul yang kecil bisa saja sembuh tanpa menimbulkan dampak
· Miasis pada nodul dapat terjadi
· Vesikel, erosi dan ulcer bisa saja terjadi pada membrane mukosa mulut dan saluran alimentarius dan pada trachea dan paru-paru.
· Odema pada bagian kaki belakang, mamae, scrotum, dan vulva Sapi jantan bisa infertil secara temporal atau permanen
· Sapi bunting bisa mengalami abortus dan anestrus untuk beberapa bulan
Gambar 5 Fetus Abortus 5 Bulan dari Induk Sapi LSD (Dokumentasi Belgania, 2023)
Menurut Tuppurainen, dkk. (2017) gejala klinis perkembangan Nodul LSD dapat menunjukkan lamanya infeksi virus. Pada 7 hari setelah terinfeksi ditandai dengan gejala awal nodul muncul, sering dianggap akibat gigitan serangga. Pada 11 hari setelah infeksi nodul sudah mulai banyak. Pada hari ke 14 pasca infeksi, lingkaran terbentuk di sekililing nodul. Pada hari ke 19 terbentuk keropeng dari nodul. Pada hari ke 21-26 pasca infeksi keropeng mengelupas menjadi ulcer. Pada hari ke 27 dan lebih keropeng lepas, meninggalkan bekas luka . Virus stabil dan dapat bertahan dengan baik sampai 6 bulan di keropeng sapi yang ada di kandang terlindung matahari dan tidak dibersihkan (OIE 2017).
Gambar 6 Perkembangan Nodul Gejala Klinis LSD (Tuppurainen et al., 2017)
Diagnosa Laboratorium
Untuk peneguhan diagnosa klinis penyakit LSD dapat dilakukan diagnosa laboratorium. Sampel yang diperiksa berupa nodul, swab kulit, darah, dan serum darah. Spesimen jaringan dibawa ke lab dalam rantai dingin dengan es atau ice gel beku. Jika jarak pengiriman sampel ke laboratorium lebih dari 48 jam diantisipasi dengan membekukan spesimen dan dikemas dalam es kering (Animal Health Australia, 2022). Konfirmasi dengan diagnosis laboratorium untuk mendeteksi adanya virus LSD atau DNA virus pada nodul dengan uji PCR. Diagnosa laboratorium antibodi LSD bisa dengan memeriksa serum darah ternak yang diduga positif LSD menggunakan metode ELISA dan Western Blot (Ditjennak, 2022).
Diagnosa Banding
Menurut OIE (2017) LSD yang parah sangatlah spesifik, namun bentuk ringannya akan sulit dibedakan dengan penyakit Dermatophilosis, Demodicosis, Gigitan serangga, Fotosensitisasi, Urtikaria, Onchocercosis. Penyakit LSD juga memiliki diagnosa banding dengan beberapa penyakit eksotik seperti Infeksi Hypoderma bovis, Rinderpest, dan Cutaneous tuberculosis (TBC kulit).
Cara Penanggulangan
Pemerintah Indonesia menetapkan strategi mengeliminasi LSD dalam waktu cepat melalui strategi sebagai berikut:
a. Pemusnahan terbatas (focal culling) dan disposal yang sesuai terhadap produk hewan yang terkontaminasi dan material lain yang terinfeksi untuk memusnahkan sumber infeksi
b. Pengendalian lalu lintas hewan dan tindakan karantina untuk mencegah penyebaran infeksi;
c. Pembersihan dan disinfeksi fasilitas, peralatan dan bahan lainnya untuk meminimalkan penyebaran virus dari peternakan, hewan dan desa yang terinfeksi;
d. Zonasi untuk menentukan zona tertular, zona restriksi dan zona surveilans
e. Vaksinasi darurat untuk mengurangi ternak rentan sehingga mencegah penyebaran LSD ke wilayah yang lebih luas.
f. Pengendalian vektor pada setiap fase wabah perlu dilakukan untuk meminimalkan penularan virus secara mekanis;
g. Surveilans dan investigasi untuk menentukan sumber dan sebaran infeksi serta sebagai dasar penentuan bebas dari penyakit;
h. Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) untuk memfasilitasi keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lain yang terkait dalam pengendalian.
i. Tidak ada pengobatan yang efektif terhadap LSD sehingga dapat diberikan pengobatan simptomatik seperti pemberian anti radang, penghilang rasa sakit untuk menurunkan demam dan membantu hewan agar tetap memiliki nafsu makan. Dalam kasus tertentu antibiotik dapat diberikan, yaitu jika telah teridentifikasi adanya infeksi sekunder dari bakteri.
Dampak LSD pada manusia
Penyakit LSD merupakan penyakit yang memberikan dampak ekonomi yang besar, karena adanya penurunan produksi susu, keguguran, gangguan reproduksi, dan penurunan nilai jual ternak. Penyebaran penyakit LSD yang menyebar cepat antar negara dan membuat pembatasan lalu lintas ternak dan ekspor impor. Kerugian ekonomi akibat LSD pada peternakan sapi perah di Amerika Serikat mencapai 141 USD atau sekitar dua juta rupiah per induk laktasi (Pal dan Gautama, 2023).
LSD tidak menular ke manusia sehingga bukan termasuk penyakit zoonosis (OIE 2017). Menurut Pal dan Gautama (2023) ada potensi LSD menjadi penyakit zoonosis bagi peternak, petugas kandang, dokter hewan, paramedik, dan laboran. Infeksi manusia akibat virus LSD dan memiliki potensi zoonosis dilaporkan di Kairo, Mesir. Pada orang yang terkena, tanda-tanda klinis diamati, seperti kelelahan, penurunan berat badan, suhu tinggi (38,5-38,9°C), gatal di sekitar nodul kulit, edema, dan pembesaran kelenjar getah bening (Kamal, 2019).
Gambar 7 Gejala Klinis Manusia yang terinfeksi virus LSD (Kamal, 2019)
Virus LSD telah ditemukan pada daging dan jeroan setelah infeksi eksperimental, meskipun virus tidak ditemukan pada daging rangka dalam, dan risiko penularan melalui daging rangka dalam dinilai minimal (Kononov et al., 2019). Daging ternak yang terpapar LSD masih bisa dikonsumsi setelah pemanasan.
Susu sapi yang terkena LSD bukan merupakan rantai penyebaran penyakit ke manusia (Angelova et al., 2018). Pasteurisasi suhu tinggi dalam waktu singkat dapat mengurangi infektivitas virus LSD dalam susu (OIE 2017). Metode pasteurisasi suhu rendah dalam waktu lama (62°C selama 30 menit) akan menonaktifkan virus, tetapi keberadaan lemak, protein, dan padatan lain dalam susu dapat melindungi virus (Wolff et al.,2020). Pasteurisasi cenderung menonaktifkan beberapa virus, tingkat inaktivasi belum dihitung. Pertimbangan juga harus diberikan pada kualitas perlindungan dari lemak dan protein susu. Rekomendasi WOAH untuk impor susu dan produk susu adalah bahwa produk tersebut berasal dari hewan di negara atau zona yang bebas dari LSD (OIE 2017). (/RHB)
DAFTAR PUSTAKA
Angelova, T., Yordanova, D., Krastanov, J., Miteva, D., Kalaydhziev, G. and Karabashev, V. Quantitative and qualitative changes in milk yield and cheese-making properties of milk in cows vaccinated against lumpy skin disease. Macedon J Anim Sci,2018, 8, 89-95. http://www.mjas.ukim.edu.mk/files/MJAS-08-2-(2018)-258-Angelova.pdf
Animal Health Australia. 2022. Response strategy: Lumpy skin disease (version 5.0). Australian Veterinary Emergency Plan (AUSVETPLAN), edition 5, Canberra, ACT. https://animalhealthaustralia.com.au/wp-content/uploads/2022/08/AUSVETPLAN-Manuals_Response_Lumpy-skin-disease.pdf
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2022. Rencana Kontingensi Lumpy Skin Disease (LSD). Jakarta: Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. https://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/15724
EFSA (European Food Safety Authority), Calistri, P, DeClercq, K, De Vleeschauwer, A, Gubbins, S, Klement, E, Stegeman, A, Cortiñas Abrahantes, J, Antoniou, S-E, Broglia, A and Gogin, A, 2018. Scientific report on lumpy skin disease: scientific and technical assistance on control and surveillance activities. EFSA Journal 2018;16(10):5452, 46 pp. https://doi.org/10.2903/j.efsa.2018.5452
Gupta, T., Patial, V., Bali, D., Angaria, S., Sharma, M., & Chahota, R. (2020). A review: Lumpy skin disease and its emergence in India. Veterinary Research Communications. doi:10.1007/s11259-020-09780-1
Khan, Y. R., Ali, A., Hussain, K., Ijaz, M., Rabbani, A. H., Khan, R. L., … Sajid, H. A. (2021). A review: Surveillance of lumpy skin disease (LSD) a growing problem in Asia. Microbial Pathogenesis, 158, 105050. doi:10.1016/j.micpath.2021.105050
Molla, W., de Jong, M. C. M., Gari, G., & Frankena, K. (2017). Economic impact of lumpy skin disease and cost effectiveness of vaccination for the control of outbreaks in Ethiopia. Preventive Veterinary Medicine, 147, 100–107. doi:10.1016/j.prevetmed.2017.0
Namazi, F., & Khodakaram Tafti, A. (2021). Lumpy skin disease, an emerging transboundary viral disease: A review. Veterinary Medicine and Science, 7(3), 888–896. doi:10.1002/vms3.434
OIE (World Organisation for Animal Health) (2017). Technical disease card: Lumpy skin disease, OIE, Paris. https://www.woah.org/app/uploads/2021/03/lumpy-skin-disease.pdf.
OIE (World Organisation for Animal Health) (2021). Manual of diagnostic tests and vaccines for terrestrial animals, Chapter 3.4.12: Lumpy skin disease, OIE, Paris.
Ratyotha K, Prakobwong S, and Piratae S (2022) Lumpy skin disease: A newly emerging disease in Southeast Asia, Veterinary World, 15(12): 2764–2771. www.doi.org/10.14202/vetworld.2022.2764-2771
Whittle, L.; Chapman, R.; Williamson, A.-L. Lumpy Skin Disease—An Emerging Cattle Disease in Europe and Asia. Vaccines 2023,11,578. https://doi.org/ 10.3390/vaccines11030578