Keracunan Sianida pada Hewan dan Upaya Pencegahannya
Hidrogen sianida (HCN) atau prussic acid atau sianida adalah senyawa kimia yang bersifat toksik dan merupakan jenis racun yang paling cepat aktif dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian dalam waktu beberapa menit (akut). Senyawa sianida yang ditemukan di alam umumnya dalam bentuk sintetis,terutama dalam bentuk garam [NaCN, KCN, dan Ca(CN)2]. Umumnya kasus keracunan pada hewan di Indonesia disebabkan secara sengaja menambahkan racun sianida ke dalam pakan. Bentuk sianida alami ditemukan dalam tanaman yang mengandung sianogen glikosida berikut enzimnya yang berfungsi membantu pelepasan (hidrolisis) sianida. Keracunan sianida asal tanaman (sianida karena peternak umumnya telah mengetahui cara pengolahan tanaman yang mengandung sianida untuk menurunkan kandungan racunnya.
Sekitar 200 jenis tanaman bersifat mengakumulasi sianogen dan memiliki kandungan sianida yang tinggi, Salah satu contoh adalah tanaman picung (Pangium edule) yang mengandung sianogen ginokardin. Senyawa tersebut dapat dihidrolisis oleh enzim ginokardase menjadi glukose sianohidrin yang tidak stabil dan membentuk sianida cukup tinggi, hingga 4.000 ppm terutama dalam biji. Kandungan sianida tertinggi terdapat dalam biji, diikuti bagian buah, batang, dan akar. Selain sifat tanaman dalam mengakumulasi sianogen, kandungan sianida pada tanaman juga dipengaruhi oleh kondisi tanaman, seperti kerusakan, tumbuh cepat setelah kekeringan (bagian daun muda), dan perlakuan herbisida. selain kandungan nitrogen dan fosfor yang tinggi dalam tanah.
Kasus keracunan sianida alami (asal tanaman) biasanya disebabkan kelalaian peternak dalam pemberian pakan hijauan. Sianogen linamarin dalam tanaman ubi kayu pahit (Manihot esculenta Crantz) dihidrolisis oleh enzim linamarase dan membentuk sianida yang toksik, selain aseton dan sianohidrin sebagai reaksi antara yang tidak stabil. Walaupun ubi kayu pahit mengandung sianida cukup tinggi dan dapat menyebabkan keracunan pada ternak, peternak dapat melakukan pengolahan untuk menurunkan kandungan sianida (detoksifikasi) sebelum diberikan kepada ternak. Beberapa cara pengolahan ubi kayu (umbi) untuk menurunkan kandungan sianida meliputi pengupasan, pengeringan, fermentasi, perendaman, pencacahan, dan penyimpanan.
Pengolahan ubi kayu dilakukan sampai kandungan sianida berada pada level yang tidak berbahaya atau tidak menyebabkan keracunan (100 ppm). Pengolahan daun ubi kayu untuk menurunkan (melepaskan) kandungan sianida memerlukan waktu lebih cepat dibandingkan dengan umbi. Daun cukup diangin-anginkan satu hari dan kandungan sianidanya akan menurun hampir 50%. Untuk umbi dan kulit umbi perlu dipotong (dicacah) lebih dahulu untuk memperluas permukaan dan mempercepat kontak antara sianogen dan enzim sehingga akan mempercepat proses hidrolisis (pelepasan) sianida. Setelah pencacahan, ubi kayu dikeringkan di bawah sinar matahari (pengeringan secara tradisional) untuk mempercepat pelepasan sianida. Pengeringan sangat diperlukan terutama untuk jenis ubi kayu pahit yang pelepasan sianidanya sangat lambat dibandingkan dengan jenis ubi kayu lainnya.
Sianida yang dilepas dari dalam lambung, sebagai hasil hidrolisis glikosida sianogen asal tanaman yang dikonsumsi ternak, akan diserap dengan cepat ke dalam aliran darah. Selanjutnya akan terjadi oksigenasi (level oksigen tinggi dalam darah) karena sianida bereaksi dengan ferric (trivalent) iron dari cytochrome oxidase dan membentuk cyanide cytochrome yang tinggi. Sementara itu, hemoglobin tidak mampu membebaskan oksigen (sistem transportasi elektron) sehingga warna darah menjadi merah terang, sebagai ciri spesifik keracunan sianida. Sebagian kecil sianida akan diserap melalui usus dan paru-paru dan dikeluarkan dengan bau khas bitter almond Efek toksisitas sianida terhadap ternak bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1) ukuran dan jenis hewan, 2) kecepatan hewan mengunyah pakan, 3) jenis sianogen dalam tanaman, 4) keaktifan enzim dalam memecah pakan, dan 5) daya detoksifikasi sianida.
Gejala keracunan sianida umumnya terjadi dalam 15−20 menit setelah mengonsumsi sianida dalam bentuk garam (KCN, NaCN) atau dalam waktu sangat cepat (akut), sianida dalam bentuk gas. Gejala keracunan sianida adalah susah bernafas, denyut nadi cepat, lemah, tremor, mata terbelalak, kembung dan kadang-kadang terjadi salivasi dan muntah, kejang-kejang, dan lapisan mukosa berwarna merah terang. Kadangkadang hewan mati tanpa terlihat gejalanya, karena efeknya secara langsung kekurangan oksigen pada otak dan jantung yang dapat mempercepat kematian.
Pengamatan gejala intoksikasi sianida kronis dapat dilakukan berdasarkan perkembangan fungsi tiroid dan biasanya terjadi pada ternak yang mengonsumsi ubi kayu dalam jangka waktu lama dan terus-menerus dengan keadaan nutrisi buruk.
Untuk memperoleh hasil diagnosis keracunan sianida yang cepat dan tepat, harus dilakukan pengujian (analisis sianida secara kimia) terhadap sampel pakan yang dikonsumsi dan sampel isi rumen dalam keadaan segar atau beku di laboratorium.
Salah satu metode yang cepat dan mudah untuk analisis sianida adalah dengan picrate paper method. Pengujian sianida juga dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer. Pengamatan gejala klinis menunjukkan terjadinya perubahan warna darah menjadi merah terang dan bau khas bitter almond dari isi lambung. Pengamatan gejala klinis cukup penting di samping pengujian di laboratorium karena sianida bersifat cepat menguap sehingga tidak terdeteksi lagi dalam sampel.
Pengobatan dimaksudkan untuk membantu menstabilkan transportasi oksigen pada sel-sel jaringan dengan cara memecah ion sianida dalam level tinggi (level berbahaya) dengan injeksi sodium nitrit untuk membentuk cyanmethaemoglobin.
Senyawa tersebut kemudian diubah menjadi tiosianat setelah penambahan tiosulfat yang secara langsung dikeluarkan melalui ginjal. Pengobatan pada anjing dilakukan dengan injeksi 1% larutan sodium nitrit dengan dosis 25 mg/ kg berat badan dilanjutkan dengan 25% sodium tiosulfat 1,25 g/kg berat badan. Pengobatan ulang dapat dilakukan bila diperlukan dengan dosis setengah dari dosis awal. Pengobatan keracunan sianida telah berhasil dengan cara injeksi sodium tiosulfat 660 mg/kg atau p-aminopropriofenon 1 mg/kg yang efektif menurunkan sianida level tinggi. Kombinasi tiosulfat 660 mg/kg dengan sodium nitrit 22 mg/kg juga efektif sebagai antidota sianida level tinggi.
Pencegahan terjadinya keracunan sianida pada ternak, terutama pada pakan hijauan atau tanaman (sianida alami), perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- tempat merumput agar terhindar dari risiko keracunan,
- level glikosida pada rumput yang mengandung sianogen akan meningkat apabila mengalami kekeringan atau kerusakan,
- tanaman muda berpotensi mengandung sianida tinggi,
- perlakuan pengolahan (pengeringan) pakan hijauan akan menurunkan sebagian besar sianogen,
- rumput kering (hay) harus berasal dari hasil pemotongan rumput yang tidak berbahaya,
- penggunaan rumput dengan perlakuan silase lebih aman karena bahan toksiknya lebih cepat menurun (satu minggu) dibandingkan dengan rumput tanpa silase (bahan toksiknya akan berkurang sekitar 50%dalam waktu tiga minggu,
- penggunaan rumput dalam bentuk dipotong-potong lebih aman dibandingkan dengan tanaman utuh,
- pemberian suplemen sulfur (apabila defisiensi) akan menaikkan efisiensi ternak dalam mengubah asam sianida menjadi tiosianat yang tidak toksik,
- untuk tanaman sorgum agar dihindari menyimpan tanaman yang muda (tingginya kurang dari 50 cm).
- Pakan asal ubi kayu, terutama jenis ubi kayu pahit perlu diolah lebih dahulu (pemotongan, pengeringan) tanpa mengurangi kualitas umbi. Bagian daun yang mengandung sekitar 20% protein cukup dipotong dan dikeringkan.
Demikian tulisan ini disampaikan, semoga bermamfat dalam mencegah terjadinya keracunan sianida pada hewan / ternak yang dipelihara .