Penyakit Septicaemia Epizootika Pada Ruminansia Dan Upaya Pencegahannya
Oleh Dr.drh Euis Nia Setiawati, MP
Septicaemia epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS) di Indonesia dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida, dan merupakan penyakit yang terdapat di seluruh wilayah tropis dan subtropis. Kejadian penyakit SE di Indonesia , pertama kali ditemukan pada tahun 1884 didaerah Balaraja , Tangerang, kemudian pada tahun 1885 meluas ketimur sampai sungai citarum dan kebarat sampai ujung Menteng Bekasi Penyakit SE pada kerbau dikenal dengan nama Rinderpest tipe busung. Penyakit ini dapat menyerang kerbau, sapi, kuda, kambing domba dan rusa. Penyakit ini telah lama dikenal di Indonesia sebagai penyakit yang merugikan secara ekonomi, sehingga dimasukkan sebagai salah satu jenis penyakit hewan menular strategis(Kementan No. 4026 Tahun 2013). Septicaemia epizootica merupakan penyakit menular pada ruminansia terutama ternak sapi dan kerbau, yang bersifat akut dan fatal. Ternak muda biasanya lebih peka dibandingkan dengan ternak yang dewasa. Gejala penyakit SE yang menyolok adalah demam disertai gangguan pernapasan dan oedema pada daerah submandibula yang meluas ke daerah leher dan dada. Bakterimia pada kerbau terjadi setelah 12 jam hewan terinfeksi dan hewan kerbau lebih peka daripada sapi.
Pencegahan SE dilakukan dengan vaksinasi yang diberikan setahun sekali. Kekebalan kelompok sekitar 60% atau lebih, mampu menekan terjadinya wabah SE di lapangan pada sistem peternakan yang bersifat tradisional atau semi intensif.
vaksinasi masal terhadap penyakit SE sudah dilaksanakan secara teratur setiap taun namun mengingat sifat patogenisitasnya , risiko penyakit SE terhadap ternaktetaptinggi. Jika kejadian secara kliis timbul, baik dari dalam maupundari luar hospes, sejumlah bakteri pasteurela Sp akan dibebaskan ketempat sekitrnya dan dapat hidup dalam waktu relatif panjang yait sekitar satu minggu , yang selanjutnya dapat menulari hewan disekitar penderita. Secara umu gejala klinis penyakit SE antara lain demam, lesu , gemetaran, adanya gangguan pencernaan , fesesagak encer bahkan bercampur darah, timbul pembengkakan padabagiab kepala( mandibula), tenggorokan, leher bagian bawah hingga kaki bagian depan. Akibat dari pembengkkaantersebut ternak sulit bernapas dan terdengar bunyi ngorok. Kematian ternak berlangsungsangat cepat , hanya dalam beberapajamsetelah timbul gejala klinis. Pada hewan rentan kematian bisa terjadi dalam waktu 24 jam setelah terjadi infeksi.
Penyakit SE terdiri dari 3 bentuk yaitu:
- Pertama membentuk busung pada kepala, leher bagian bawah , gelambir dan kaang- kadang pada kaki bawah, dubur danalat kelamin. Tingkat kematian pada bentuk busung ini bisa mencapi 100 %, kematian cepatsekali yaitu 3-7hari setelah terpapar. Gejala klinis yang nampak pada kerbau adalah sesak napas dansuara ngoro ngorok, merintihdengan gigi gemeretak , suhu tubuh tinggi ( 41.5 derajat celcius).
- Kedua bentuk pektoral dengan gejala klinis bronchopenia seperti batuk keringdannyeri, kemudian keluar ingus dari hidung , pernapasan cepat dan susah . Proses agak lama yaitu 1-3minggu.
- Ketiga bentuk intestinal ( kronis) dengan gejala klinis hewan menjadi kurus, sering batuk, napsu makan menurun, mengeluarkan airmataaa, suhu tidakberubah, diare profus ( terus menerus) dan sulit disembuhkan.
Dengan sifat patogenitasnya yang tinggi , ketepatan diagnosa dan kecepatan pengobatanterhadap penyakit SE sangatlah diperlukan. Preparat yang cukup efektif dalam tidakan kuratif adalah golongan sulfa dan antibiotika yang berspektrum luas.
Untuk peneguhan diagnosa , perlu Pengiriman bahan sediaan ulas darah jantung yang difiksasi metil alkohol, cairn oedeme dandarah dari jantungyang Yang dimasukkan kedalm pipet fasteur, potongan organ tubuh seperti jantung, limpa, ginjal, kelenjar limfe dan sumsum tulang.
Tingkat kekebalan kelompok hewan (herd immunity) terhadap SE, yaitu lebih dari 60%, mampu menekan terjadinya wabah SE di lapangan pada sistem peternakan yang bersifat tradisional / semi intensif. Tingkat kekebalan protektif yang dicapai, mengindikasikan bahwa vaksinasi yang dilakukan telah mampu menstimulasi pembentukan antibodi protektif dengan sangat baik. Vaksinasi yang diberikan akan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi terhadap penyakit SE sehingga antibodi akan terdeteksi pada sapi yang divaksinasi, namun demikian, pada sapi yang tidak divaksinpun terdapat kemungkinan ditemukan antibodi. Hal ini disebabkan sapi sudah mengalami infeksi alami ataupun sudah memiliki maternal antibodi.
Ada proporsi tertentu dari sapi yang kebal secara alami terhadap penyakit SE. Kekebalan alami terhadap penyakit SE terjadi kira-kira 10% pada sapi. proporsi hewan dengan kekebalan alami berbeda dari satu kelompok ke kelompok ternak lainnya dan juga dari waktu ke waktu. Kejadian tertinggi terjadi pada hewan dewasa dan hampir semua hewan dewasa kebal. Kekebalan ini berhubungan dengan antibodi protektif setelah hewan terpapar penyakit SE yang tidak mematikan dan dapat bertahan untuk lebih dari 1 tahun . Kegagalan vaksinasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti: aplikasi vaksin yang tidak tepat, dosis yang diberikan tidak cukup, kualitas vaksin atau seed vaksin yang telah mengalami penurunan daya imunogenik-nya, serta respon individual ternak tersebut. Selain itu, tingkat kekebalan juga dipengaruhi kualitas vaksin yang ditentukan oleh masa kadaluarsa, serta penanganan vaksin selama masa penyimpanan dan distribusi vaksin (rantai dingin).
Sapi betina memiliki respon antibodi protektif yang lebih tinggi dibandingkan sapi jantan, karena sapi betina memiliki hormon estrogen yang ikut berperan dalam ketahanan terhadap suatu penyakit. Hormon ini mampu memicu aktivitas sel fagosit melalui aktivasi makrofag. Makrofag yang teraktivasi akan lebih aktif melakukan fagosit terhadap bahan asing yang masuk ke dalam tubuh.