Please ensure Javascript is enabled for purposes of Kementerian Pertanian RI
1
Chatbot
Selamat datang, silahkan tanyakan sesuatu
Logo

Tingkah Laku Reproduksi Ayam

20/08/2025 13:46:03 Admin Satker 1781

Gambar 1 Perkawinan Ayam Jantan dan Betina

(Lesley, 2024)

 

Oleh : drh. Ristaqul Husna Belgania, M.Si

Komoditas unggulan dari perunggasan adalah ayam (Gallus gallus) yang dikembangkan untuk diambil daging atau telur. Keragaman ayam lokal di Indonesia masih sangat tinggi dan berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai ayam tipe pedaging, petelur, dan hias. Pada umumnya ayam hidup berkelompok dan aspek penampilan fisik memainkan peran yang lebih penting dalam menentukan pejantan dominan.

Tingkah laku reproduksi ayam dominan untuk membangun wilayah dan mempertahankan harem kecil ayam dan pengikut mereka dalam wilayah tersebut. Dalam salah satu kelompok ini, ayam dominan melakukan semua, atau hampir semua, perkawinan.  Namun, penelitian lain telah menunjukkan bahwa perilaku laki-laki memang memiliki peran, mungkin dikombinasikan dengan karakteristik morfologi, dalam menentukan pilihan pasangan betina (Graves  et al. , 1985; Leonard dan Zanette, 1998). Rasio sekitar 1:10 atau 1:11 ayam: ayam biasanya memberikan kesuburan terbaik.

Tingkah laku kawin ayam diawali dari ayam pejantan melakukan kepakan sayap dan berkokok untuk menunjukkan kejantanannya. Gerakan ini biasanya diikuti dengan gerakan hentakan kaki, memiringkan dan selanjutnya memutar kepalanya membentuk satu lingkaran. Tahap gerakan selanjutnya yaitu tarian waltz oleh pejantan. Tarian waltz ini ditunjukkan ayam pejantan dengan melakukan gerakan merendahkan sayap sambil mendekati betina dengan gerakan melangkah ke samping. Gerakan ini merupakan bentuk “pinangan” pejantan terhadap betina. Apabila betina merespon positif, maka betina akan membungkukkan badannya. Betina yang menolak dikawini cenderung lari dan apabila betina tidak merespon positif, maka pejantan akan mematuk dan mengais batu atau barang apapun di sekitarnya sambil memanggil betina (Prayitno dan Sugiharto, 2015).

Gambar 2 Tarian waltz yang dilakukan Ayam Jantan

(Prayitno dan Sugiharto, 2015)

 

Ayam pejantan mengejar betina sambil menegakkan jengger dan bulu leher. Ayam betina yang merespon positif, menundukan badan, seiring dengan merendahkan kepala dan mengembangkan sayap (untuk keseimbangan menggerakan ekor ke sampai dan membuka kloaka. Ayam pejantan kemudian menunggangi punggung ayam betina sambil menegakkan jengger dan bulu leher mengangkat dan membuka kloaka. Kedua kloaka bertemu dan terjadi perkawinan. Ayam jantan mengejakulasi semen kemudian turun ke depan lalu melakukan tarian waltz kembali. Setelah proses kawin, ayam betina berdiri menggetarkan badan kemudian berjalan (Appleby, et al., 2004).

Gambar 3. Perkawinan pada Ayam

(Prayitno dan Sugiharto, 2015)

Penelitian Leonard dkk. (1993) menunjukkan ayam  White Leghorns yang dipelihara secara campur jenis kelaminnya sejak kecil menghasilkan perkawinan yang lebih sukses di masa dewasa. Dalam penelitian ini, perkawinan ayam yang sukses didefinisikan sebagai pejantan yang menginjak punggung (menunggangi) dan membuat kontak kloaka dengan betina. Perkawinan yang tidak berhasil didefinisikan sebagai pemasangan laki-laki, atau pemasangan dan tapak, tetapi tidak membuat kontak kloaka. Tingkat keberhasilan adalah jumlah persetubuhan yang berhasil dinyatakan sebagai persentase dari upaya kawin. Tingkat keberhasilan ayam yang dipelihara secara campur adalah 88% dibandingkan dengan 68% ketika tidak memiliki pengalaman awal lawan jenis. Tingkat bahkan lebih rendah ketika hanya satu jenis kelamin memiliki pengalaman awal lawan jenis.

Ayam broiler jantan menunjukkan tingkat agresi yang tinggi terhadap betina, terutama selama kinerja perilaku seksual, sedangkan perilaku pacaran hampir tidak ada sebelum kawin (Jones dan Prescott, 2000; Millman dan Duncan, 2000,). Ini mungkin salah satu alasan mengapa betina cenderung tetap berada di area slatted, dan mungkin mengalami luka parah di punggung, bagian belakang kepala dan di sepanjang batang tubuh di bawah sayap (Millman, dkk., 2000). Perilaku seksual ayam pedaging jantan digambarkan kasar, pejantan mematuk atau mengejar betina dan memaksa kopulasi (Jones dan Prescott, 2000; Millman dkk., 2000).

Tingkah laku reproduksi yang lain pada ayam betina adalah tingkah laku bertelur (maternal behaviour). Tanda-tanda menjelang bertelur meliputi gelisah, mengeluarkan suara dan mencari sarang atau tempat untuk bertelur. Tahapan dalam tingkah laku bertelur terbagi dalam pre laying behaviour, laying behaviour dan post laying behaviour. Tingkah laku bertelur (maternal behaviour) ini berkaitan erat dengan fisiologi hormon reproduksi (Appleby, et al., 2004).

Gambar 4 Pengaruh hormone terhadap

(Appleby, et al., 2004)

Pada sistem pemeliharaan ayam beralas litter, tingkah laku sebelum bertelur (pre laying behaviour) hampir mirip dengan tingkah laku natural. Pre laying behaviour didahului dengan fase mencari sarang yang nyaman untuk bertelur. Setelah sarang yang nyaman ditemukan, selanjutnya dilakukan pemilihan bidang sarang untuk bertelur dan diikuti dengan pembuataan nest hollow/cekungan untuk bertelur (Prayitno dan Sugiharto, 2015).

page38image49723616

Gambar 5. Ayam Betina mencari sarang untuk bertelur

(Prayitno dan Sugiharto, 2015)

 

Pada sistem pemeliharaan beralas litter dan berbentuk pen, permasalahan yang sering terjadi adalah keterbatasan ukuran pen dan jumlah sarang yang tersedia. Keterbatasan jumlah sarang dan interaksi agresif merupakan faktor utama penyebab banyaknya floor eggs. Ayam betina lebih menyukai bertelur di dekat tempat terjadi kopulasi dibandingkan dengan tempat yang terisolasi, namun tetap membutuhkan suasana yang nyaman dan tenang.

Ayam lebih menyukai bertelur  (ovoposisi) dengan menghadap serong ke depan dengan bidang miring ke depan. Kanibalisme lebih banyak terjadi jika ayam menghadap ke dalam nest box. Jika terjadi penundaan oviposisi akibat lighting inferior, ataupun keterbatasan nest box, retensi telur pada uterus sering mengakibatkan deposisi ekstra kalsium pada permukaan kulit telur. Hal tersebut mengakibatkan tampak lapisan seperti debu pada permukaan kulit telur dan tentunya menambah ketebalan telur dan mereduksi kemampuan pertukaran udara jika telur akan ditetaskan.

page39image49867328

Gambar 6. Ayam Betina bertelur dengan menghadap serong ke depan

(Prayitno dan Sugiharto, 2015)

Tingkah laku post laying ayam ditunjukkan dengan ayam menduduki telur yang telah dikeluarkannya selama kurang lebih setengah jam. Tingkah laku post laying dipengaruhi oleh sekresi hormon prolactin (Buntin, 2010). Tingkah laku ini mengeram ini merugikan peternak karena meningkatkan resiko pemendekan masa simpan telur konsumsi dengan mencegah pendinginan telur secara cepat di samping peningkatan kontaminasi mikroba. Tingkah laku ini dapat diatasi dengan sistem roll way nest boxes karena telur akan segera dikeluarkan dari sarang. Tingkah laku ini harus direduksi karena dengan memberikan peluang untuk menduduki telur dapat meningkatkan hasrat untuk mengeram, hal ini dapat terjadi meskipun pada jenis ayam petelur yang sudah terseleksi  (Appleby, et al., 2004, Prayitno dan Sugiharto, 2015).

DAFTAR PUSTAKA

Aigueperse N, Houdelier C, Nicolle C, Lumineau S. Mother-chick interactions are affected by chicks' sex and brood composition in Japanese quail. Dev Psychobiol. 2019 Sep;61(6):832-842. doi: 10.1002/dev.21848. Epub 2019 Mar 20. PMID: 30895607.

Appleby, M.C., Mench, J.A., Hughes, B.O. 2004. Poultry Behaviour and Welfare. Center of Agriculture Bioscientific (CABI) Publishing. London.

Applegate, T.J., Harper, D., Lilburn L. 1998. Effects of hen age on egg composition and embryo development in commercial Pekin ducks. Poult Sci 77:1608-1612.

Aryani, A., Solihin, D.D., Sumantri, C., Afnan, R., Sartika, T. 2021. Respons Fisiologis Ayam KUB (Kampung Unggul Balitbangtan) dan Ayam Walik dengan Haplotipe Gen HSP70 Berbeda yang Terpapar Cekaman Panas Akut. J IPI 26 (2): 276-283. doi: 10.18343/jipi.26.2.276

Aspinall, V., Cappello, M.2015. Introduction to Veterinary AnatomyAnd Physiology third edition. Elsevier. Pp 153-155

Ball, G. F., Balthazart, J. (2010). Japanese quail as a model system for studying the neuroendocrine control of reproductive and social behaviors. ILAR journal, 51(4), 310–325. https://doi.org/10.1093/ilar.51.4.310

Balthazart, J., Ball, G.F. 2019. Male Sexual Behavior and Hormones in Non-Mammalian Vertebrates. Encyclopedia of Animal Behavior. Academic Press, Oxford,pp.

Bédécarrats, G. Y., Baxter, M., & Sparling, B. 2016. An updated model to describe the neuroendocrine control of reproduction in chickens. General and Comparative Endocrinology, 227, 58–63. doi:10.1016/j.ygcen.2015.09.02

Buntin, J.D., 2010. Parental behavior and hormones in non-mammalian vertebrates. In: Breed, M.D., Moore, J. (Eds.), Encyclopedia of Animal Behavior. Academic Press, Oxford,pp. 664–671.