Please ensure Javascript is enabled for purposes of Kementerian Pertanian RI
1
Chatbot
Selamat datang, silahkan tanyakan sesuatu
Logo

Peran Strategis Widyaiswara Mendukung Swasembada Pangan

19/08/2025 08:34:16 Admin Satker 36

Oleh : Dayat Hermawan (Widyaiswara Madya – BBPKH Cinagara)

 

I.         PENDAHULUAN

 

1.1.      Latar Belakang

Ketahanan dan kedaulatan pangan merupakan isu strategis yang sangat penting bagi keberlangsungan bangsa Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dan terus bertambah, kebutuhan pangan nasional meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Namun demikian, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mewujudkan swasembada pangan secara berkelanjutan. Tantangan tersebut mencakup ketergantungan pada impor komoditas pangan strategis, alih fungsi lahan pertanian, perubahan iklim, rendahnya produktivitas lahan dan ternak, serta lemahnya sistem distribusi dan pasar hasil pertanian. Kondisi ini menuntut adanya upaya sistematis dan kolaboratif dari seluruh elemen pembangunan, termasuk dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pertanian dan peternakan.

SDM pertanian yang berkualitas merupakan kunci utama dalam peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha tani maupun usaha ternak. Kompetensi petani, peternak, penyuluh, dan pelaku utama lainnya sangat menentukan keberhasilan penerapan inovasi teknologi, manajemen usaha, serta adaptasi terhadap dinamika pasar dan perubahan lingkungan. Oleh karena itu, pembangunan pertanian tidak hanya bertumpu pada aspek fisik dan infrastruktur, melainkan juga harus ditopang oleh sistem pengembangan SDM yang kuat, terencana, dan berkelanjutan.

Dalam konteks inilah, lembaga pelatihan pertanian dan para Widyaiswara memainkan peran strategis. Widyaiswara sebagai tenaga pendidik profesional di lingkungan lembaga pelatihan memiliki tanggung jawab penting dalam merancang dan menyelenggarakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan lapangan. Melalui pendekatan pembelajaran yang partisipatif, kontekstual, dan berbasis pengalaman, Widyaiswara berperan sebagai jembatan antara hasil riset dan inovasi dengan para pelaku utama di sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Dengan demikian, keberadaan dan kontribusi Widyaiswara menjadi salah satu pilar utama dalam mendukung pencapaian swasembada pangan yang berdaulat, adil, dan berkelanjutan.

Namun, dalam praktiknya, kontribusi Widyaiswara terhadap swasembada pangan seringkali belum terlihat secara langsung karena keterbatasan dalam sistem monitoring, evaluasi, dan sinergi kelembagaan. Di sisi lain, perubahan dinamika pembangunan pertanian menuntut Widyaiswara untuk terus mengembangkan kapasitas, metode pembelajaran, serta jejaring kolaborasi yang lebih luas dan adaptif.

 

1.2.      Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah Bagaimana kontribusi strategis Widyaiswara dalam mendukung pencapaian swasembada pangan nasional, dan langkah-langkah apa yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan peran tersebut secara lebih nyata dan berkelanjutan?

 

1.3.      Tujuan Penulisan

Tulisan ini disusun dengan tujuan utama untuk menguraikan secara komprehensif peran strategis Widyaiswara dalam mendukung pencapaian swasembada pangan nasional. Dalam era yang ditandai oleh kompleksitas tantangan pangan, mulai dari perubahan iklim, degradasi lahan, hingga rendahnya produktivitas SDM di sektor pertanian dan peternakan, diperlukan upaya sistematis dalam meningkatkan kapasitas pelaku utama pertanian melalui pendidikan dan pelatihan yang efektif. Di sinilah Widyaiswara memiliki posisi kunci sebagai agen transformasi pengetahuan, fasilitator pembelajaran, dan jembatan antara teknologi dengan kebutuhan riil di lapangan.

Selain itu, tulisan ini juga bertujuan untuk memberikan rekomendasi konkret dalam rangka penguatan peran dan fungsi Widyaiswara, baik dari aspek kebijakan, kelembagaan, maupun peningkatan kompetensi profesional. Rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan dalam merancang strategi pengembangan SDM pertanian yang lebih responsif, adaptif, dan berorientasi pada hasil, sehingga mampu mendorong percepatan terwujudnya swasembada pangan yang mandiri dan berkelanjutan.

  

II.       TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1.      Konsep Swasembada Pangan

Swasembada pangan merupakan konsep yang berkaitan erat dengan kemampuan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok penduduknya secara mandiri, berkelanjutan, dan stabil tanpa tergantung pada impor dari luar negeri. Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia, swasembada pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan konsumsi pangan nasional dari produksi dalam negeri dengan tetap menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan pasokan. Konsep ini tidak hanya menitikberatkan pada aspek produksi, tetapi juga mencakup dimensi distribusi, akses, dan keberlanjutan sistem pangan nasional.

Secara umum, terdapat beberapa indikator utama yang digunakan untuk mengukur tingkat swasembada pangan, antara lain:

1.    Rasio ketersediaan terhadap kebutuhan (rasio swasembada) untuk komoditas pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai, daging, dan gula.

2.    Penurunan ketergantungan impor, terutama untuk komoditas yang dapat diproduksi secara domestik.

3.    Stabilitas harga pangan di tingkat produsen dan konsumen sebagai cerminan efisiensi produksi dan distribusi.

4.    Tingkat konsumsi pangan per kapita yang mencerminkan kecukupan gizi dan pola konsumsi masyarakat.

Untuk mencapai swasembada pangan, dibutuhkan strategi multidimensional yang melibatkan berbagai aspek teknis, kelembagaan, ekonomi, dan sosial. Strategi tersebut antara lain:

1.    Peningkatan produktivitas melalui pemanfaatan benih unggul, perbaikan teknik budidaya, dan pengendalian hama serta penyakit tanaman dan ternak.

2.    Perluasan dan perlindungan lahan pertanian dari alih fungsi yang tidak terkendali.

3.    Pembangunan infrastruktur pendukung, seperti irigasi, jalan usaha tani, serta fasilitas penyimpanan dan distribusi hasil pangan.

4.    Penguatan kelembagaan petani dan kemitraan usaha, untuk memperkuat posisi tawar dan efisiensi ekonomi.

5.    Peningkatan kapasitas sumber daya manusia, baik petani, penyuluh, maupun tenaga pelatihan seperti Widyaiswara, agar mampu memahami dan menerapkan teknologi serta manajemen usaha tani yang tepat.

 

2.2.      Peran Widyaiswara sebagai Pendidik Profesional

Widyaiswara merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pengembangan sumber daya manusia aparatur dan non-aparatur, khususnya dalam konteks pendidikan dan pelatihan (diklat) teknis, fungsional, maupun kepemimpinan. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, serta diperkuat oleh Peraturan Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengembangan Kompetensi Widyaiswara, bahwa Widyaiswara didefinisikan sebagai pejabat fungsional yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan pada lembaga pelatihan pemerintah.

Dalam fungsinya, Widyaiswara tidak hanya bertindak sebagai penyampai materi, tetapi juga sebagai fasilitator pembelajaran, pengembang kurikulum, motivator perubahan, serta agen transformasi pengetahuan dan teknologi. Mereka berperan dalam menjembatani hasil-hasil penelitian, inovasi, dan kebijakan dengan kebutuhan praktis di lapangan melalui metode pembelajaran yang partisipatif dan kontekstual. Hal ini menjadikan Widyaiswara sebagai elemen strategis dalam proses peningkatan kompetensi SDM pertanian, peternakan, dan sektor pangan lainnya.

Untuk dapat menjalankan perannya secara optimal, seorang Widyaiswara harus memiliki kompetensi dasar yang mencakup:

1. Kompetensi pedagogik. Kemampuan merancang dan menyelenggarakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif, dan sesuai dengan karakteristik peserta pelatihan.

2. Kompetensi profesional. Penguasaan substansi materi pelatihan sesuai bidang keahlian, termasuk kemampuan mengintegrasikan isu-isu aktual dan teknologi terkini.

3. Kompetensi sosial-kultural. Kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, dan membangun relasi / jejaring kerja (net working) yang produktif dengan peserta, sesama pengajar, dan stakeholder lainnya.

4.    Kompetensi kepribadian. Integritas, etika, kedisiplinan, dan keteladanan dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik negara.

Selain kompetensi dasar tersebut, pengembangan profesi Widyaiswara dilakukan secara berkelanjutan melalui berbagai mekanisme seperti pendidikan lanjutan, pelatihan teknis, seminar ilmiah, pertukaran pengetahuan antarinstansi, dan publikasi karya tulis ilmiah. Hal ini penting untuk memastikan Widyaiswara senantiasa adaptif terhadap perubahan, inovatif dalam mengembangkan metode pembelajaran, dan responsif terhadap kebutuhan pembangunan di sektor pangan dan pertanian.

 

2.3.      Hubungan antara Pelatihan, Penyuluhan, dan Swasembada Pangan

Pelatihan dan penyuluhan merupakan dua instrumen utama dalam pembangunan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di sektor pertanian dan peternakan. Keduanya memiliki peran saling melengkapi dalam mendukung pencapaian swasembada pangan. Pelatihan berfungsi sebagai wadah peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap para pelaku utama dan pelaku usaha, sementara penyuluhan menjadi jembatan antara inovasi teknologi dan penerapannya secara langsung di lapangan. Sinergi yang kuat antara kedua pendekatan ini berkontribusi signifikan terhadap perbaikan kinerja dan produktivitas sektor pangan nasional.

Pelatihan yang efektif memberikan dampak langsung terhadap peningkatan kualitas SDM pertanian. Melalui pelatihan, petani, peternak, dan penyuluh memperoleh akses terhadap teknologi terbaru, praktik budidaya yang baik, manajemen usaha tani, serta pemahaman tentang pasar dan tata niaga. Pelatihan juga mendorong perubahan pola pikir (mindset) dari cara-cara konvensional menuju pendekatan yang lebih modern, efisien, dan berorientasi pasar. Dalam konteks swasembada pangan, SDM yang terlatih akan mampu meningkatkan hasil produksi, mengurangi tingkat kehilangan hasil, serta memperkuat ketahanan usaha mereka dalam menghadapi tantangan seperti perubahan iklim, fluktuasi harga, dan gangguan pasokan.

Namun demikian, keberhasilan pelatihan dan penyuluhan tidak dapat dilepaskan dari kolaborasi kelembagaan yang solid. Keterpaduan antara lembaga pelatihan, lembaga penyuluhan, institusi riset, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan sektor swasta menjadi kunci dalam menciptakan sistem pendukung yang komprehensif. Kolaborasi ini mencakup perumusan kurikulum pelatihan berbasis kebutuhan nyata di lapangan, integrasi program kerja, penyediaan narasumber yang kompeten, serta pendampingan berkelanjutan pasca-pelatihan.

Selain itu, pelatihan dan penyuluhan juga memainkan peran penting dalam mendukung program-program prioritas nasional di bidang pangan, seperti optimalisasi lahan pertanian, pengembangan kawasan sentra produksi, pemanfaatan teknologi smart farming, dan penguatan kelembagaan petani. Ketika seluruh pemangku kepentingan bergerak dalam satu arah dengan peran yang saling menguatkan, maka upaya mewujudkan swasembada pangan bukan hanya menjadi wacana, melainkan sebuah gerakan nyata yang berdampak luas dan berkelanjutan.

  

III.      PERAN STRATEGIS WIDYAISWARA DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

 

3.1.      Widyaiswara Sebagai Agen Transformasi Pengetahuan dan Teknologi

Dalam era pertanian modern yang dinamis dan berbasis ilmu pengetahuan, Widyaiswara memiliki peran vital sebagai agen transformasi pengetahuan dan teknologi. Posisi ini menempatkan Widyaiswara tidak hanya sebagai penyampai materi pelatihan, tetapi juga sebagai penghubung strategis antara hasil-hasil penelitian dan inovasi dengan kebutuhan nyata di lapangan. Peran ini sangat penting dalam mendukung percepatan adopsi teknologi oleh petani dan peternak sebagai bagian dari strategi besar menuju swasembada pangan nasional.

Transfer inovasi pertanian menjadi salah satu bentuk konkret dari peran strategis Widyaiswara. Inovasi dalam bentuk teknologi budidaya unggul, manajemen pakan dan kesehatan ternak, sistem pertanian presisi (precision farming), hingga pendekatan berbasis digital (smart agriculture) hanya akan berdampak signifikan apabila mampu dipahami, diterapkan, dan diadopsi oleh pelaku utama di sektor pangan. Di sinilah peran Widyaiswara sangat menentukan, terutama dalam menerjemahkan bahasa teknis ilmiah menjadi materi pembelajaran yang aplikatif, mudah dipahami, dan relevan dengan konteks lokal.

Untuk mencapai efektivitas transformasi tersebut, pelatihan yang disusun dan disampaikan oleh Widyaiswara harus berbasis pada kebutuhan lapangan. Artinya, materi pelatihan tidak bersifat seragam atau top-down, melainkan disusun berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan petani, peternak, dan penyuluh di daerah sasaran. Pendekatan ini menuntut Widyaiswara untuk terus berinteraksi dengan dinamika lapangan, memahami tantangan dan potensi lokal, serta mengintegrasikan hasil-hasil riset terkini dalam desain pelatihan yang adaptif.

Pelatihan berbasis kebutuhan lapangan juga memungkinkan terjadinya proses pembelajaran dua arah yang lebih bermakna, di mana peserta pelatihan tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga kontributor aktif dalam proses penyusunan solusi. Dengan demikian, Widyaiswara tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga memfasilitasi proses perubahan perilaku dan peningkatan kapasitas yang berdampak langsung terhadap produktivitas dan keberlanjutan usaha pertanian dan peternakan.

Melalui peran ini, Widyaiswara menjadi motor penggerak dalam mengakselerasi transformasi pertanian tradisional menuju pertanian maju, efisien, dan berdaya saing tinggi. Ini sejalan dengan upaya nasional dalam mewujudkan kedaulatan dan swasembada pangan berbasis penguatan sumber daya manusia yang cerdas, adaptif, dan inovatif.

 

3.2.      Widyaiswara Sebagai Fasilitator Pemberdayaan SDM Pertanian

Dalam menghadapi tantangan pembangunan pertanian masa kini dan masa depan, pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) menjadi faktor penentu yang tidak dapat diabaikan. Widyaiswara, sebagai tenaga profesional di lembaga pelatihan, memiliki peran strategis sebagai fasilitator dalam proses pemberdayaan tersebut. Tidak hanya berfokus pada aspek penyampaian materi, Widyaiswara berperan sebagai penggerak, pendamping, dan pengarah dalam proses pembelajaran yang bertujuan meningkatkan kapasitas, daya saing, dan kemandirian para pelaku utama pertanian.

Salah satu bentuk nyata peran tersebut adalah melalui penyelenggaraan pelatihan teknis dan manajerial. Pelatihan teknis mencakup peningkatan keterampilan praktis di bidang budidaya tanaman, peternakan, pengolahan hasil, pemupukan berimbang, pengendalian hama dan penyakit, serta penerapan teknologi tepat guna. Sementara itu, pelatihan manajerial meliputi penguatan kapasitas dalam perencanaan usaha tani, pencatatan keuangan, akses pembiayaan, pemasaran hasil, hingga pengelolaan kelembagaan tani. Integrasi antara pelatihan teknis dan manajerial ini sangat penting agar petani dan peternak tidak hanya mampu memproduksi, tetapi juga mampu mengelola usahanya secara berkelanjutan dan berorientasi pasar.

Peran Widyaiswara juga menjadi sangat krusial dalam upaya penguatan kapasitas petani dan peternak milenial. Di tengah kecenderungan menurunnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian, Widyaiswara dituntut untuk menyusun pendekatan pelatihan yang lebih kreatif, inspiratif, dan berbasis teknologi digital yang sesuai dengan karakteristik generasi muda. Melalui pelatihan yang relevan dan motivatif, Widyaiswara dapat menumbuhkan semangat kewirausahaan, inovasi, dan digitalisasi usaha tani di kalangan petani milenial.

Selain itu, Widyaiswara juga berkontribusi dalam mendorong regenerasi SDM pertanian, sebuah agenda strategis untuk menjamin keberlanjutan pembangunan sektor pangan di masa depan. Regenerasi ini hanya dapat terwujud apabila generasi muda melihat pertanian sebagai sektor yang menjanjikan, modern, dan berprestise. Melalui pelatihan yang menanamkan nilai-nilai keberdayaan, inovasi, dan kecintaan terhadap pertanian, Widyaiswara dapat menjadi agen perubahan dalam membalik citra pertanian dari sekadar pekerjaan subsisten menjadi pilihan karier yang menjanjikan.

 

3.3.      Widyaiswara Sebagai Mitra Strategis Pemerintah dan Lembaga Terkait

Dalam dinamika pembangunan pertanian yang semakin kompleks, keterlibatan berbagai pemangku kepentingan secara sinergis menjadi keharusan. Widyaiswara, sebagai pendidik profesional di lembaga pelatihan pemerintah, tidak hanya berperan dalam proses pembelajaran di ruang kelas, tetapi juga menjadi mitra strategis bagi pemerintah dan lembaga terkait dalam perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi program-program pembangunan pertanian, termasuk yang berkaitan langsung dengan upaya swasembada dan kedaulatan pangan.

Salah satu bentuk konkret peran strategis tersebut adalah melalui kolaborasi aktif dalam program-program strategis nasional, terutama program utama kementerian pertanian seperti Brigade Pangan, Optimasi Lahan Rawa, Cetak Sawah Rakyat, Pengembangan Food Estate, dan Program Petani Milenial. Dalam program-program ini, Widyaiswara berperan mulai dari tahap perencanaan pelatihan, penyusunan kurikulum berbasis kebutuhan program, penyampaian materi yang aplikatif, hingga pendampingan lapangan kepada peserta program. Keberadaan Widyaiswara di lini depan pelatihan menjadikan mereka sebagai penghubung antara kebijakan pemerintah pusat dengan implementasi teknis di tingkat akar rumput.

Lebih dari itu, Widyaiswara juga berkontribusi dalam perumusan kebijakan berbasis lapangan. Melalui interaksi intensif dengan peserta pelatihan, petani, peternak, serta penyuluh di berbagai daerah, Widyaiswara memperoleh data, pengalaman, dan masukan yang otentik mengenai kondisi riil, tantangan, dan potensi sektor pertanian. Informasi ini dapat dihimpun dan diolah sebagai bahan rekomendasi kebijakan yang lebih kontekstual, aplikatif, dan tepat sasaran. Dengan demikian, Widyaiswara tidak hanya menjadi pelaksana teknis pelatihan, tetapi juga mitra pemikiran strategis bagi pemerintah dalam merancang arah pembangunan pertanian yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Peran kolaboratif ini juga mencakup keterlibatan Widyaiswara dalam kerja sama lintas lembaga, baik dengan lembaga riset, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), swasta, hingga lembaga internasional. Melalui sinergi ini, proses pengembangan kapasitas SDM pertanian dapat dilakukan secara lebih komprehensif, inovatif, dan berkelanjutan.

 

3.4.      Widyaiswara Sebagai Inovator dalam Pengembangan Metode Pembelajaran

Seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan karakteristik peserta pelatihan yang semakin beragam, peran Widyaiswara sebagai pendidik profesional tidak hanya terbatas pada penyampaian materi, tetapi juga sebagai inovator dalam pengembangan metode pembelajaran. Dalam konteks modernisasi pertanian dan percepatan transformasi digital, Widyaiswara dituntut untuk mampu merancang dan mengimplementasikan metode pembelajaran yang adaptif, efektif, dan relevan dengan kebutuhan zaman.

Salah satu inovasi penting adalah digitalisasi pelatihan dan pemanfaatan e-learning. Melalui platform pembelajaran daring (online learning), Widyaiswara dapat menjangkau peserta pelatihan dari berbagai wilayah tanpa batasan geografis dan waktu. Hal ini memungkinkan pemerataan akses terhadap pengetahuan dan keterampilan, terutama di daerah-daerah terpencil atau tertinggal. Selain itu, penggunaan media interaktif seperti video tutorial, infografis digital, simulasi virtual, dan forum diskusi daring menjadikan proses pembelajaran lebih menarik, partisipatif, dan mudah dipahami. Widyaiswara tidak lagi sekadar menjadi penyaji materi, tetapi juga bertindak sebagai kurator konten digital, fasilitator interaktif, dan pembimbing daring yang responsif.

Selain digitalisasi, inovasi lain yang dikembangkan adalah penggunaan model pembelajaran berbasis blended learning dan experiential learning. Blended learning menggabungkan keunggulan pembelajaran daring (online) dan tatap muka (offline) dalam satu kesatuan yang saling melengkapi. Model ini memungkinkan peserta untuk mempelajari teori secara fleksibel melalui e-learning, kemudian memperdalam pemahaman melalui praktik langsung dan diskusi saat pelatihan lapangan. Di sisi lain, experiential learning atau pembelajaran berbasis pengalaman mendorong peserta untuk belajar dari situasi nyata, praktik langsung, studi kasus lokal, hingga simulasi usaha tani atau peternakan yang berbasis problem solving.

Melalui pendekatan ini, pelatihan tidak lagi bersifat satu arah dan monoton, melainkan lebih kontekstual, aplikatif, dan mampu menggugah kesadaran serta motivasi peserta untuk berubah dan berkembang. Inovasi metode pembelajaran juga menjadikan pelatihan lebih inklusif bagi generasi milenial yang akrab dengan teknologi, sekaligus tetap relevan bagi pelaku pertanian konvensional yang mengandalkan pembelajaran berbasis praktik.

  

IV.     TANTANGAN DAN PELUANG

 

4.1.      Tantangan

Di tengah peran strategisnya dalam membangun kapasitas sumber daya manusia pertanian, Widyaiswara menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan perhatian dan penanganan serius agar pelatihan dapat memberikan dampak yang optimal terhadap pencapaian swasembada pangan. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan anggaran dan sarana prasarana pelatihan. Banyak lembaga pelatihan yang belum memiliki fasilitas pelatihan yang memadai, baik dari segi ruang belajar, laboratorium praktik, teknologi digital, maupun bahan ajar yang mutakhir. Keterbatasan anggaran juga sering membatasi pelaksanaan pelatihan secara berkelanjutan, termasuk pengembangan kompetensi Widyaiswara itu sendiri. Hal ini berdampak pada menurunnya kualitas pelatihan dan terbatasnya inovasi pembelajaran yang dapat diterapkan.

Tantangan berikutnya adalah perlunya perluasan jangkauan dan peningkatan dampak pelatihan. Saat ini, sebagian besar pelatihan masih menjangkau peserta yang terbatas secara jumlah maupun wilayah. Padahal, kebutuhan peningkatan kapasitas SDM pertanian tersebar luas di seluruh penjuru Indonesia, termasuk di daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Selain itu, belum semua program pelatihan mampu memberikan efek berantai (multiplier effect) yang kuat di tingkat lapangan. Dampak pelatihan seringkali belum terdokumentasi dengan baik, atau belum ditindaklanjuti dengan pendampingan yang cukup, sehingga hasil pelatihan belum sepenuhnya terinternalisasi dalam praktik peserta.

Tantangan lainnya adalah adaptasi terhadap dinamika teknologi dan karakter generasi muda, yang menuntut perubahan cara belajar dan mengajar secara signifikan. Generasi petani dan peternak milenial memiliki gaya belajar yang berbeda, lebih terbuka pada teknologi digital, namun juga menuntut pendekatan yang interaktif dan relevan dengan dunia nyata. Di sisi lain, banyak Widyaiswara yang masih menghadapi kendala dalam mengadopsi teknologi baru, mulai dari e-learning, penyusunan materi digital, hingga penggunaan media sosial sebagai alat edukasi. Tanpa pembaruan metode dan pendekatan, pelatihan berisiko menjadi kaku dan kurang diminati oleh generasi penerus pertanian.

Ketiga tantangan ini saling terkait dan berimplikasi langsung terhadap efektivitas pelatihan. Oleh karena itu, diperlukan strategi inovatif dan kebijakan yang mendukung penguatan kelembagaan pelatihan, peningkatan kapasitas Widyaiswara, serta pengembangan sistem pelatihan yang inklusif, adaptif, dan berbasis kebutuhan lapangan. Dengan demikian, peran Widyaiswara dapat terus relevan dan berdampak dalam mendukung pembangunan pertanian yang berkelanjutan dan swasembada pangan nasional.

 

4.2.      Peluang

Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi, peran Widyaiswara dalam mendukung swasembada pangan justru semakin mendapatkan momentum berkat hadirnya berbagai peluang strategis yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat pelatihan dan pengembangan SDM pertanian. Salah satu peluang utama adalah dukungan kebijakan pemerintah terhadap penguatan SDM pertanian, yang semakin nyata terlihat dalam berbagai program nasional. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan lembaga terkait terus mendorong peningkatan kapasitas petani dan peternak melalui pelatihan vokasional, pemberdayaan petani milenial, serta revitalisasi lembaga pelatihan dan penyuluhan. Dukungan ini juga diwujudkan dalam alokasi anggaran, regulasi pengembangan kompetensi, dan insentif bagi lembaga pelatihan yang berinovasi.

Selain itu, terdapat peluang besar dalam sinergi antara pemerintah pusat dan daerah serta antar kementerian/lembaga (K/L). Kolaborasi ini menjadi kunci dalam memperluas cakupan dan efektivitas pelatihan di seluruh Indonesia. Program-program strategis seperti Brigade Pangan, Optimasi Lahan Rawa, Cetak Sawah Rakyat, serta Food Estate memerlukan keterlibatan aktif lintas sektor, dan di sinilah Widyaiswara memiliki peran penting sebagai penghubung dan pelaksana pelatihan yang terintegrasi. Dengan semakin kuatnya koordinasi dan penyelarasan kebijakan antara pusat dan daerah, pelatihan yang diselenggarakan dapat lebih sesuai dengan kebutuhan lokal dan berdampak nyata di lapangan.

Peluang lainnya adalah semakin luasnya pemanfaatan teknologi informasi untuk efektivitas pelatihan. Perkembangan teknologi digital membuka ruang baru bagi Widyaiswara untuk mengembangkan dan menyampaikan materi pelatihan melalui platform daring (e-learning), aplikasi mobile, video interaktif, dan media sosial edukatif. Hal ini memungkinkan penyebaran informasi dan pengetahuan secara cepat, luas, dan efisien, termasuk di wilayah terpencil. Teknologi juga mendukung sistem monitoring dan evaluasi berbasis data, yang dapat digunakan untuk menilai dampak pelatihan secara lebih terukur dan akuntabel.

Ketiga peluang ini (dukungan kebijakan, sinergi kelembagaan, dan teknologi informasi) memberikan landasan yang kuat bagi Widyaiswara untuk memperluas peran dan meningkatkan kualitas pelatihan. Dengan memanfaatkan momentum ini secara optimal, Widyaiswara dapat berkontribusi lebih besar dalam menciptakan SDM pertanian yang profesional, adaptif, dan siap mendukung keberhasilan swasembada pangan nasional secara berkelanjutan.

  

V.       REKOMENDASI DAN SOLUSI

 

Peran strategis Widyaiswara dalam mendukung swasembada pangan dapat dioptimalkan, maka diperlukan berbagai langkah konkret yang bersifat sistematis dan berkelanjutan. Rekomendasi dan solusi berikut disusun untuk memperkuat peran Widyaiswara sebagai agen perubahan di bidang pengembangan SDM pertanian:

1.    Penguatan Kapasitas dan Kompetensi Widyaiswara melalui Diklat Lanjutan

Peningkatan kapasitas Widyaiswara merupakan fondasi utama dalam menjamin kualitas pelatihan. Diperlukan program pendidikan dan pelatihan lanjutan (diklat) secara berkala, baik dalam aspek teknis (teknologi pertanian terkini), metodologi pembelajaran, maupun penguasaan digitalisasi pelatihan. Program ini sebaiknya bersifat tematik, aplikatif, dan berbasis kebutuhan nyata, sehingga Widyaiswara tidak hanya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu merespons tantangan dan peluang di lapangan secara proaktif.

2.    Pengembangan Kurikulum Pelatihan yang Adaptif dan Responsif terhadap Kebutuhan Lokal

Kurikulum pelatihan harus dirancang secara fleksibel dan kontekstual, dengan memperhatikan keragaman geografis, sosial ekonomi, komoditas unggulan, serta tantangan lokal yang dihadapi petani dan peternak. Pengembangan kurikulum berbasis kebutuhan lapangan (demand-driven) menjadikan pelatihan lebih relevan, mudah diadopsi, dan berpotensi menghasilkan dampak yang lebih nyata terhadap peningkatan produktivitas pangan di masing-masing daerah.

3.    Peningkatan Kolaborasi dengan Stakeholder: Litbang, Perguruan Tinggi, dan Swasta

Sinergi antara Widyaiswara dan berbagai pemangku kepentingan seperti lembaga penelitian / riset, perguruan tinggi, serta sektor swasta sangat penting untuk menjamin kontinuitas inovasi dan dukungan teknis dalam proses pelatihan. Kolaborasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk penyusunan materi bersama, program magang, pendampingan lapangan, hingga kemitraan dalam pilot project pengembangan usaha tani atau peternakan. Melalui kolaborasi ini, pelatihan menjadi lebih kaya sumber daya, ilmiah, dan praktis.

4.    Penguatan Sistem Monitoring dan Evaluasi Dampak Pelatihan terhadap Produksi Pangan

Efektivitas pelatihan tidak cukup diukur dari jumlah peserta atau jumlah kegiatan yang terlaksana, tetapi harus dilihat dari dampaknya terhadap peningkatan kapasitas dan produktivitas peserta. Oleh karena itu, perlu dibangun sistem monitoring dan evaluasi (monev) yang berbasis data, mencakup indikator perubahan pengetahuan, keterampilan, perilaku, serta output nyata seperti peningkatan hasil panen, efisiensi usaha, atau pengurangan biaya produksi. Sistem ini juga dapat digunakan untuk menyempurnakan metode pelatihan dan mendukung proses perumusan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).

  

VI.     PENUTUP

 

Widyaiswara memegang peran yang sangat penting dalam upaya mewujudkan swasembada pangan nasional. Sebagai pendidik profesional, fasilitator, inovator, sekaligus agen transformasi pengetahuan dan teknologi, Widyaiswara menjadi garda terdepan dalam pengembangan kapasitas sumber daya manusia pertanian. Melalui pelatihan yang berbasis kebutuhan lapangan, pendekatan pembelajaran yang partisipatif dan adaptif, serta kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, Widyaiswara mampu menjembatani inovasi dengan praktik nyata yang dibutuhkan oleh petani dan peternak di seluruh pelosok negeri.

Kontribusi Widyaiswara tidak hanya terwujud dalam bentuk peningkatan kompetensi peserta pelatihan, tetapi juga dalam perumusan kebijakan, penguatan kelembagaan, dan pendampingan program-program strategis nasional seperti Brigade Pangan, Optimasi Lahan Rawa, dan Cetak Sawah Rakyat. Dengan demikian, keberadaan Widyaiswara bukan sekadar pelengkap sistem pelatihan, melainkan komponen inti dalam pembangunan pertanian yang berdaya saing dan berkelanjutan.

Ke depan, terdapat harapan besar agar fungsi dan peran Widyaiswara dapat dioptimalkan melalui peningkatan kapasitas, penguatan kelembagaan pelatihan, pemanfaatan teknologi informasi, serta pengembangan sistem evaluasi yang berbasis dampak nyata. Dengan dukungan kebijakan yang progresif dan sinergi antar lembaga, Widyaiswara diharapkan mampu terus berkontribusi secara signifikan dalam mencetak SDM pertanian yang tangguh, inovatif, dan mandiri.

Pada akhirnya, swasembada pangan yang berdaulat dan berkelanjutan hanya dapat dicapai apabila didukung oleh SDM pertanian yang unggul, dan dalam proses membentuk SDM inilah, peran Widyaiswara menjadi sangat vital dan tak tergantikan.

 

 

PUSTAKA

 

Andi A. S. dkk. 2018. Kebijakan Penyelamat Swasembada Pangan. IAARD Press, Jakarta.

Andi A. S., Kuntoro B. dan Abul H. B. 2023. Menjaga Keberkelanjutan Swasembada Pangan. Pertanian Press, Jakarta.

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 73/Kpts/OT.050/M/02/2025 tentang Satuan Tugas Swasembada Pangan Reguler.

Miko H. 2018. Widyaiswara dalam tatanan kemandirian pangan nasional di era adaptasi kebiasaan baru. Bakti Widyaiswara Vol. 2, PPMKP Kementan.

Triyono P. 2013. Kajian kebijakan pengembangan pangan di areal hutan tanaman untuk mendukung swasembada pangan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 10(2):134-148.